Rahasia Menentukan Hilal bulan Ramadhan dan Syawal

Sering kita saksikan dan alami kaum muslimin berbeda pendapat didalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana syariat membimbing kita dididalam menentukan hilal tersebut sehingga kita bisa lebih yakin didalam mengikuti sebuah pendapat 1. CARA MENENTUKAN IBADAH PUASA DAN IEDUL FITHRI Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara : 1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit). 2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal. 3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban. Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini: 1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081) 2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) 3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain) 4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321,

Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29) Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam pelet mimpi Irwa’ul Ghalil hadits ke 109. Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata : “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal.

Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187) Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli): 1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang. 2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas. 3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri. 2. PERBEDAAN MATHLA’ (TEMPAT MUNCUL HILAL) DAN PERSELISIHAN TENTANGNYA Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.

Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi : “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’

Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213) Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat : Pendapat Pertama: Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i. Pendapat Kedua: Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah.

Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol). Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa... Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua : 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i. Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat : 1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab. 2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim. 3.

Dengan perbedaan iklim. 4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.” 5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya. Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.” Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain.

Demikian pendalilan mereka. Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368) As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310) Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata :

“Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal.... Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105) Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...”

(Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya,

kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397) 3. BOLEHKAH BER -IEDUL FITHRI SENDIRI MENYELISIHI KAUM MUSLIMIN ? Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 : Pendapat Pertama : Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i. Pendapat Kedua :

Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi. Pendapat Ketiga : Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440) Demikian keterangan Syaikhul Islam. Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.” Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia.

Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72) Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214) Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini,

jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.” Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444) Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117. Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i,

maka bagaimana hukumnya ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206) Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ? Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut : “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya.

Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari. Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari.

Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.” Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.” Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu). Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.” Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “

Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam. Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308) Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan). Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim) Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28). 4. HUKUM HILAL YANG DIKETAHUI PADA AKHIR SIANG Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214,

hadits ke 1026). Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310. Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133) Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Thaharah dan Shalat Orang Sakit

Sholat adalah tiang agama, yang tidak boleh ditinggalkan bagaimanapun keadaannya, walaupun dalam keadaan sakit. Thoharah (bersuci) merupakan salah satu syarat sah shalat. Bagaimanakah tata cara orang sakit melakukan thoharah dan shalatnya???? lihat dalam tulisan yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah Sesungguhnya segala puji dan syukur hanya milik Allah, kita memujinya, meminta tolong, serta minta ampun kepada-Nya. Kita berlindung dengan Allah dari kejahatan hawa nafsu, dan dari kejelekkan perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tiada yang bisa menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan Allah, tiada yang bisa memberinya petunjuk. Dan saya bersaksi tidak ada sembahan yang berhak diibadati kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.

Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan rasul-Nya. Semoga Allah menganugrahkan salawat atasnya, keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan bersalam dengan salam yang banyak. Selanjutnya, ini adalah tulisan yang ringkas tentang hal-hal yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang sakit dalam melaksanakan thoharah (bersuci) dan shalat. Orang sakit mempunyai hukum-hukum tersendiri, dikarenakan kondisinya itu termasuk kondisi yang diperhatikan oleh syariah Islamiyah. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya Muhammad dengan agama yang lurus dan penuh teloransi, yang didirikan di atas tata yang mudah dan gampang. Allah berfirman. Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. ( Q.S. : 22;78 ). Dan berfirman : Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S: 2;185). Dan berfirman : Artinya :

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah. (Q.S : 64;16). Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya agama itu mudah dan bersabda : Jika saya memerintahmu dengan satu urusan maka kerjakanlah apa yang kamu sanggupi. Berdasarkan kepada kaidah yang mendasar ini Allah telah meringankan pelaksanaan ibadah orang?orang yang mempunyai uzur (berhalangan) sesuai dengan pelet birahi kadar uzurnya, agar memungkinkan mereka untuk malakukan ibadah kepada Allah tanpa ada kesulitan dan keberatan. Walhamdulillahi Rabbil alamin. Cara bersuci 1) Orang sakit wajib bersuci dengan memakai air, dalam berwudhuk dari hadats kecil dan mandi dari hadats besar. 2) Jika tidak mampu bersuci dengan air, disebabkan kerena ketidaksanggupannya, atau takut penyakitnya bertambah, atau kesembuhannya semakin lama, maka bertayamum. 3) Cara bertayamum; dengan memukulkan kedua telapak tangan ke atas permukaan tanah yang suci (bersih) satu kali,

lalu mengapuskannya ke wajah, kemudian ke kedua tangan sampai ke pergelangan, dengan mengusapkan satu dengan yang lain. Jika tidak sanggub untuk bertayamum sendiri, maka orang lain mentayamumkannya, caranya ; orang mentayamumkannya itu memukulkan kedua telapak tangannya ke atas permukaan tanah yang suci dan mengapuskannya ke wajah si sakit, dan ke kedua tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang dilakukan, kalau seandainya dia tidak mampu untuk berwuduk sendiri, maka orang lain mewudukkannya. 4) Tayamum boleh dengan mengusapkan telapak tangan ke dinding atau dengan sesuatu yang ada debu, jika dinding itu dicat dengan cat minyak, artinya bukan sejenis dinding dari tanah, maka tidak boleh bertayamum kecuali ada debunya. 5) Jika tidak ada dinding atau apapun yang ada debunya, maka tidak mengapa diletakkan tanah (pasir) di atas kain atau bejana kemudian bertayamum. 6) Jika dia telah bertayamum untuk melakukan suatu sholat, kemudian kesuciannya masih ada sampai masuk waktu sholat yang lain, maka dia melakukan sholat dengan tayamum yang pertama, dan tidak perlu mengulang tayamumnya.

Dikarenakan dia masih suci dan tidak ada faktor yang membatalkannya. 7) Orang sakit wajib mensucikan badannya dari najis. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang. 8) Orang sakit harus membersihkan pakaiannya dari najis, atau membuka dan mengantinya dengan pakaian yang bersih suci. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang. 9) Orang sakit harus sholat di atas sesuatu yang suci. Jika kasurnya ada najis maka harus dicuci, atau ditukar dengan yang suci atau dialas dengan sesuatu yang suci. Apabila tidak mampu maka sholatlah dalam kondisinya yang seperti itu, maka sholatnya sah dan tidak perlu diulang. Cara sholat 1) Orang sakit wajib melakukan sholat fardu dengan keadaan berdiri, miskipun agak membungkuk atau bersandar ke dinding, tonggak atau tongkat. 2) Jika tidak mampu melakukannya dengan keadaan berdiri, maka solatlah dengan posisi duduk. Yang lebih afdhol dia sholat dengan posisi bersila pada waktu seharusnya berdiri dan ruku, dan bersimpuh pada waktu yang seharusnya sujud. 3)

Jika tidak mampu duduk, maka sholatlah sambil berbaring menghadap kiblat dengan miring di sisi kanan lebih afdhol daripada sisi kiri. Jika tidak mampu untuk menghadap kiblat maka sholatlah sesuai dengan arah posisinya dan tidak perlu diulang. 4) Kala tidak mampu berbaring miring maka sholatlah menelentang, kedua kakinya diarahkan ke arah kiblat dan lebih afdhol kepalanya diangkat sedikit untuk mengarahkan ke kiblat. Jika kakinya tidak bisa diarahkan ke kiblat maka sholatlah sesuai dengan posisinya dan tidak perlu diulang. 5) Orang sakit dalam melaksanakan sholat harus ruku dan sujud, jika tidak mampu maka mengisyaratkannya dengan kepala (menundukkan). Maka dia menjadikan isyarat sujud lebih rendah daripada ruku. Jika dia sanggub untuk melaksanakan ruku saja tanpa sujud maka dia ruku di waktu ruku adapun sujud diisyaratkan dengan menundukkan kepala.

Jika dia sanggub untuk melaksanakan sujud saja tanpa ruku maka dia sujud di waktu sujud adapun ruku diisyaratkan dengan menundukkan kepala. 6) Jika tidak mampu untuk mengisyaratkan dengan kepala pada waktu ruku dan sujud, maka mengisyaratkannya dengan mata. Caranya; dengan memejamkan sekejab kalau melakukan ruku dan kalau sujud mata dipejamkan relatif lama. Adapun mengisyaratkan dengan jari seperti yang dilakukan sebagian orang sakit, tidak sah. Dan saya tidak mengetahui dalil dari Kitab dan Sunnah serta perkataan ahli ilmu (ulama) tentang perbuatan itu. 7) Jika tidak mampu mengisyaratkan dengan kepala dan mata, maka sholatlah dengan hatinya. Maka dia meniatkan ruku sujud, berdiri, duduk, dengan hatinya. Dan setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan. 8) Orang sakit harus melakukan setiap sholat tepat pada waktunya,

sesuai dengan kemampuannya yang telah dirinci di atas tadi. Dan tidak boleh mengakhirkannya sampai keluar waktu. 9) Jika melaksanakan setiap sholat tepat pada waktunya memberatkannya, maka boleh menjamak antara Zohor dan Ashar, Maghrib dan Isya dengan jamak takdim atau jamak takhir, sesuai dengan kondisi yang mudah bagi dirinya. Kalau ingin mendahulukan sholat Ashor dengan Zohor atau mengakhirkan sholat Zohor dengan Ashor boleh. Begitu juga sholat Maghrib dan Isya. Apapun sholat Subuh tidak boleh dijamakkan dengan sholat sebelum dan sesudahnya. Dikarenakan waktunya terpisah dengan waktu sebelum dan sesudahnya. Allah berfirman : Artinya : Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula sholat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)1. (Q.S: 17;78).
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Bulan Syaban

Sya’ban adalah nama bulan. Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sering berpuasa pada bulan ini. Artikel ini membahas hal-hal yg berkaitan dengan bulan Syaban, khususnya masalah puasa di Bulan Syaban Sya’ban adalah nama bulan. Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin. Shaum di bulan Sya’ban Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : ”Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.” Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari ‘

Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Saya tidak mengetahui beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.” Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “ Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan.” Dan dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh selain Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan.

Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461. Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Sya’ban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam: “

Sya’ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan”, menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung –bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Sya’ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya. Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai menghidupkan antara Maghrib dan ‘Isya dengan shalat dan mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di antaranya disukainya dzikir kepada Allah ta’ala di pasar karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai.

Dan menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya beberapa faedah, di antaranya: Menjadikan amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya’. Sebagian salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya. Dari Ibnu Mas’ud dia berkata: “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).”

Berkata Qatadah: “Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.” Demikian juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah, dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi pelet jarak jauh orang yang terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Ma’qal bin Yassar: “Ibadah ketika harj sepeti hijarah kepadaku.” Yakni ketika terjadinya fitnah, karena manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan melaksanakan amalan dengan sulit/berat. Ahli ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban ke dalam beberapa perkataan: 1. Beliau disibukkan dari puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadha’nya (menunaikannya) pada bulan Sya’ban.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadha’nya. 2.Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Sya’ban sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini berkebalikan dengan apa yang datang dari ‘Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya sampai bulan Sya’ban karena sibuk (melayani) Rasulullah. 3.Dan dikatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan.” (HR. Nasa’i. Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan Sya’ban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka beliau mengqadha’nya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah beliau sebelum masuk Ramadhan –

sebagaiman halnya apabila beliau terlewat sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadha’nya-. Dengan demikian ‘Aisyah waktu itu mengumpulkan qadha’nya dengan puasa sunahnya beliau. Maka ‘Aisyah mengqadha’ apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat, misalnya udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang mampu untuk mengqadha’ sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib bagi dia di samping mengqadha’nya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.

Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya’ban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat. Dan oleh karena Sya’ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Qur’an, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: “Telah dikatakan bahwa bulan Sya’ban itu merupakan bulannya para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya’ban dia berkata: “Inilah bulannya para qurra’.” Dan ‘Amr bin Qais Al-Mula’i apabila masuk bulan Sya’ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur’an. Puasa pada Akhir bulan Sya’ban Telah tsabit dalam Shahihain dari ‘Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?”

Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dan dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161). Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakn sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan). Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salla, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits ‘Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?

Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya. Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya’ban ada pada tiga keadaan: 1.Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram. 2.Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha’ Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian. 3.Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri –meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, Al-Auzai’, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.

Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan. Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal: Pertama: agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama. Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari’atkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib.

Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah shalat shubuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663). Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu. Wallahu ta’ala a’lam. Maraji’: Lathaaiful Ma’arif fi ma Limawasimil ‘Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali. Al-Ilmam bi Syai’in min Ahkamish Shiyam, ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi.
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Shalat Berjamaah BAGI LAKI-LAKI

Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting. Banyak dari kita yang meremehkan shalat berjamaah. Oleh karenanya, melalui tulisan ini akan coba kami jelaskan mengenai hukum-hukum tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena sebe-narnya masalah ini adalah masalah yang teramat penting. Allah SWT banyak menyebut kata sha-lat dalam Al Qur’anul Karim.

Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah SWT berfirman : Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.(Al Baqarah : 43) Ayat mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Dan dalam surat An- Nisa’ Allah berfirman yang artinya : Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemu-dian apabila mereka (yang shalat besertamu) su-jud (telah menyempurnakan serekat), maka hen-daklah mereka dari belakangmu (untuk meng-hadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah me-reka denganmu , dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata… (An Nisa’ 102) Pada ayat diatas Allah mewajibkan sha-lat berjamaah bagi kaum muslimin dalam kea-daan perang.

Bagaimana bila dalam keadaan damai?!. Telah disebutkan diatas bahwa ..dan hendaklah datang segolongan kedua yang be-lum shalat, lalu bershalatlah bersamamu…. Ini adalah dalil bahwa shalat berjamaah adalah far-dhu ‘ain, bukan fardu kifayah, ataupun sunnah. Jika hukumnya fardhu kifayah, pastilah gugur kewajiban berjamaah bagi kelompok kedua karena penunaian kelompok pertama. Dan jika hukumnya adalah sunnah, pastilah alasan yang paling utama adalah karena takut. Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai ilmu pelet pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Ma-ka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan ? Ya, jawabnya. Nabi berkata :Kalau begitu penuhilah (hadirilah)! Didalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, diantaranya: -

Keadaan beliau buta. - Tidak adanya penuntun ke Masjid. - Jauh rumahnya dari Masjid. - Adanya pohon-pohon kurma dan lain-lain yang ada diantara rumah beliau dan Masjid. - Adanya binatang buas di Madinah. - Tua umurnya dan telah lemah tulang-tulang-nya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meri-wayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah bersabda: Aku berniat meme-rintahkan kaum muslimin untuk mendirikan sha-lat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berang-kat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka. (Al Bukhari-Muslim) Hadits diatas telah menjelaskan bahwa tekad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk membakar rumah-rumah disebabkan mereka tidak keluar untuk shalat berjamaah di masjid. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan peringatan keras Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak hadir ke masjid untuk berjamaah bukan semata-mata karena mereka meninggalkan shalat, bahkan mereka shalat di rumah-rumah mereka. Ibnu Hajar berkata:

Hadits ini telah menerangkan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Engkau telah melihat kami, tidak seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan (dengan dipapah) antara dua orang untuk mendatangi shalat (shalat berjamaah di masjid). Beliau menegaskan : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid (shalat yang dikerjakan di masjid). (Shahih Muslim) Ibnu Mas’ud juga mengatakan : Barang siapa mau bertemu dengan Allah SWT di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukan-Nya. Allah SWT telah menetapkan jalan-jalan hidayah kepada para Nabi dan shalat ter-masuk salah satu jalan hidayah.

Jika kalian sha-lat dirumah maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, dan kalian akan sesat. Setiap Lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju masjid, maka Allah SWT menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat dikalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat (berjamaah), kecuali orang munafik yang sudah nyata nifaknya. Pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan shaf. Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum berkata : Barangsiapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata : Tidak ada tetangga masjid kecuali shalat di masjid. Ketika ditanyakan kepada beliau : Siapa tetangga masjid ? Beliau menjawab : Siapa saja yang mendengar panggilan adzan. Kemudian kata beliau : Barangsiapa mendengar panggilan adzan dan dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia mempunyai udzur.

Meningggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran, dan keluar dari islam. Ini berdasar pada sabda Nabi : Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim). Janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya, maka ia kafir. Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakan secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Setiap muslim wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksanya. Tidak bisa dipungkiri shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang tampak adalah : - Akan timbul diantara sesama muslim akan sa-ling mengenal dan saling membantu dalam kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat de-ngan kebenaran dan kesabaran. -

Saling memberi dorongan kepada orang lain yang meninggalkannya, dan memberi penga-jaran kepada yang tidak tahu. - Menumbuhkan rasa tidak-suka/membenci kemunafikan. - Memperlihatkan syiar-syiar Allah ditengah-tengah hamba-Nya. - Sarana dakwah lewat kata-kata dan perbuatan. Hadits mengenai wajibnya shalat berja-maah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak Oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan, dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya dan agar mereka takut terhadap larangan Allah dan rasul-Nya dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, dianta-ranya malas mengerjakan shalat
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Shalat Berjamaah BAGI WANITA

Imam Nawawi juga berkata: Berkata shahabat shahabat kami: Shalat berjamaah bukanlah fardlu ‘ain dan bukan pula fardlu kifayah pada haq wanita, tetapi hanya sunnah saja bagi mereka. Sebaliknya wanita dianjurkan untuk shalat di runahnya karena fadlilah (keutamaan)nya lebih besar dibandingkan dengan shalat berjamaah dj masjid. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: Shalat salah seorang di antara kalian di makhda (kamar kecil yang berada di dalam rumah yang besar dan berguna untuk menjaga barang-barang mahal dan berharga) lebih~ utama daripada shalat di kamamnya. Shalat di kamamya lebih utama daripada shalat di rumahnya. Shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masiid kaumnya lebih utama daripada mereka shalat bersamaku (masiidku). (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AI-AIbani di dalam Jilbab Marah~Muslimah, hal. I55)

Mengomentari hadits di atas, Syaikh Albani hafidhahullah berkata: Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim yang berbunyi: Shalat di masjidku lebih utama seribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid-masjid yang lainnya. Hadits ini tidak menafikan bahwa shalat-shalat mereka (para wanita) di rumahnya lebih utama bagi mereka, sebagaimana tidak dinafikannya pula keutamaan shalat sunnah di rumah bagi laki-laki dibandingkan dengan jika dilakukan di masjid. Akan tetapi jika dia (laki-laki) shalat di salah satu masjid yang tiga (Mekah, Madinah dan Aqsha), maka mereka mendapat keutamaan-keutamaan dan kekhususan-kekhususan· Demikian pula halnya bagi wanita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalar dikamarnya. Dan shalamya dimahdanya lebih utama daripada shalar di rumahnya. (HR. Abu Dawud, hadirs no. 566 dan berRarn SyaiWt Nashiruddin AI-Albnni di dalam Misykatul MasFabih hal. 1063: Sanadnya shahih atas syarat Muslim.

Diriwayatkanpula oleh Imam Hakim dan berkata: Sanadnya atas syarat Bukhari dan Muslim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya ) Beliau shallalahu alaihi wa sallam bersabda: Sebaik-baik masjid bagi wanila adalah di dalam rumah-rumah mereka. (HR. Ahmad (6/301), Ibnu Khuraimah (3/92) dan Baihaqi (3A31~ Dari riwayat-riwayat di atas, para ulama mengambil istimbat hukum bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. Mustafa Al-Adawi di dalam kitab Ahkamu An-Nisa hal. 299, berkata -setelah memaparkan hadits-hadits ini: Hadits ini adalah tambahan dari sanad yang menjelaskan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. (lihat Shahih Ibnu Khwnimph (3/96) dan Sunan AI-Baihaqi Al-Kubra (3/ 132)). Beliau (Mustafa) menambahkan: Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan bahwa shalat wanita di rumahnya Lebih utama dari shalat mereka di masjid itu adalah shahih dengan terkumpulnya sanad-sanad hadits tersebut. Imam Nawawi rahimahullah berkata: Shahabat-shahabat kami berkata:

Shalat wanita di suatu tempat di dalam rumahnya yang lebih tertutup adalah lebih afdal, karena terdapat hadits dari Abdullah bin Masud radhjallahu mthu bahwasanya Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam bersabda: Shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di kamamya dan shalat di mahdanya lebih utama daripada di rumahnya. (HR. Abu Dawud dnnsanadnya shahih atas syarat Muslim, lihat Synrh Muslim, 2/73) Demikianlah perkataan Imam Nawawi rahimahullah yang menyatakan bahwa yang lebih afdlal bagi wanita adalah shalat di rumahnya dengan alasan lebih tertutup dan lebih aman dari fitnah. Masih banyak lagi paa ulama lainnya yang menyatakan demikian. Di antaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. Beliau berkata ketika men-syarah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud-: Shalat wanita di rumahnya, maksudnya karena kesempuinaan hijab. Dan keutamaan shalat di rumah bagi wanita karena di bangun atas dasar ini. Beliau Obnul Qayyim) menjelaskan pula tentang lafadz riwayat Rumah mereka lebih utama bagi mereka. Maksudnya adalah shalat-shalat mereka (wanita) di rumahnya itu Lebih utama bagi mereka dibandingkan dengan shalatnya di masjid. jika mereka mengetahui yang demikian (pastilah mereka tidak meminta untuk keluar masjid). Akan tetapi karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka (shahabiyah) meminta izin untuk keluar ke masjid dengan berkeyakinan bahwa pahalanya lebih banyak daripada shalat di rumahnya.

Keutamaan yang lain adalah aman dari fitnah, (hal itu) didukung dengan adanya perbuatan yang dilakukan para wanita (yakni tabarruj, ikhtilath [bercampurnya antara laki-laki dan perempuan], memakai wangi-wangian dan lain-lain). Dalam hadits lain riwayat Ibnu Masud radhiyaIlahu anhu secara morfudisebutkan: Sebaik-baik masjid bagi wanita adalah ruma rumah mereka. (HR Ahmad. 6/301, IbnuKhuzaimah 3/29, dan Baihaqi 3/131) Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidl (baligh), kecuali jika ia memakai kerudung walaupun di dalam rumahnya dan tidak ada orang-orang asing (bukan mahram) yang melihatnya. Hal itu menunjukkan diperintahkan menutup aurat dari sudut syariat yang tidak diperintahkan kepada laki-laki. Yang demikian diwajibkan oleh Allah atas mereka, walaupun dia tidak dilihat oleh seorang pun. Allah berfirman: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (Al-Ahzab: 33) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mencegah hamba-hamba Allah (wanita) ke masiid, meskipun rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka. (HR Bukhari no. 900) Juga sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya): Shalat salah seorang di antara kalian (para wanita) di mahda-nya lebih utama daripada shalat di kamarnya.

Shalat di kamarnya lebih utama daripada shalat di rumahnya Shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masjid kaumnya lebih urama daripada shalat bersamaku (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh SyaiRh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Jilbab Marah Muslimah, hal. 155) Imam Syaukani rahimahullah berkata: Shalat mereka (wanita) di rumahnya adalah lebih balk dan utama daripada shalat di masjid jika mereka mengetahui cara belajar ilmu pelet yang demikian. Akan tetapi, karena mereka tidak mengetahuinya, mereka meminta izin untuk keluar ber- jamaah. Mereka berkeyakinan bahwa pahala shalat di masjid lebih banyak. Keutamaan yang lainnya adalah bahwa shalat-shalat mereka di rumahnya lebih aman dari fitnah. Yang menekankan demikian ini karena adanya pebuatan yang diadakan oleh wanita seperti tabarruj (berdandan) atau bersolek, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu anha. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidhahullah berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka. Hadits ini memberikan pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah. Maka akan aku (syaikh Utsaimin) katakan: Sesungguhnya shalatmu di rumahmu itu lebih utama dan lebih baik. Hat itu dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath bersama lelaki lain, sehingga akan dapat menjauhkannya dari fitnah. Dari keterangan di atas telah jelas bagi kita keutamaan shalat wanita di rumahnya. Walaupun begitu mungkin akan timbul dalam benak kita suatu pertanyaan: Manakah yang lebih utama, wanita shalat di rumahnya dengan berjamaah atau shalat sendiri. Dan apakah shalat jamaahnya akan mendapatkan seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (yakni lebih utama 27 derajat)? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita melihat syarah hadits Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dunpuluh lima (dalam riwayar lain dengan duapuluh tujuh) derajat.

Apakah hadits tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan wanita? Imam Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, juz 2 ha1.157, mengatakan tentang kekhususan keutamaan shalat berjamaah dengan membawakan keterangan para ulama yang mensyarah hadits tersebut. Seperti Ibnu Qattan dan para pensyarah lain yang dikomentari oleh At-Zain bin Al-Mundzir dan yang lain secara terperinci. Beliau (Ibnu Hajar) berkata: Sungguh aku menganggap benar pendapat mereka yang sesuai dengan keadaan shalat berjamaah dan menolak yang tidak dikhususkan bagi shalat berjamaaah seperti: Memenuhi panggilan adzan. Segera datang pada awal waktu. Berjalan ke mesjid dengan tenang. Masuk ke masjid dengan berdoa. Shalat Tahiyatul masjid. Menanti jamaah. Shalawat dan doa malaikat baginya. Persaksian malaikat baginya. Memenuhi iqamah. Keselamatan dari gangguan setan ketika setan lari dari suara iqamah. Berdiri menunggu takbir pertama imam atau mengikuti semua perbuatan imam. Mendapatkan takbiratul ihram. Meratakan dan meluruskan shaf-shaf Menjawab imam ketika mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Aman dari lupa secara dominan dan mengingatkan imam ketika lupa dengan bacaan tasbih. Mendapatkan rasa khusyu dan selamat dari kesia-siaan.

Memperbaiki sikap. Kerumunan malaikat di sisinya. Memperbaiki tajwid bacaan Al-Quran. Menampakkan syiar Islam. 21.Menimbulkan kemarahan setan dengan berkumpul dalam beribadah dan saling tolong-menolong dalam ketaatan dan sebagai penyemangat orang-orang yang malas. Selamat dari sifat nifaq dan menghilangkan prasangka buruk dari yang lain karena meninggalkan shalat. Menjawab salam imam. 24. Mengambil manfaat dengan berkumputnya doa mereka serta saling melengkapi. 25. Menegakkan aturan persatuan antar sesama jamaah dan mendapatkan perhatian mereka pada waktu shalat. Ke-25 hal itu semua diperintahkan dan disemangatkan. (Farhul Barijuz 2 hal. 157) Dengan keterangan di atas dijelaskan bahwa semua hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah adalah berkaitan dengan shalat jamaah di masjid dan tidak di rumah. Oleh karena itu perlu dipertanyakan pernyataan Syaikh Musthafa Al-Adawi dan Abu Muhammad bin Hazm di bawah ini yang menyatakan bahwa hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat jamaah mencakup laki-laki dan wanita. 

Syaikh Musthafa al-Adawi berpendapat: Shalat wanita dengan berjamaah di masjid lebih utama daripada shalatnya sendiri di masjid. Shalat wanita dengan berjamaah di rumahnya lebih balk daripada shalat sendirian di rumahnya. Beliau berkata: Kedua point di atas termuat dalam keumuman hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: Shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat. Demikian pula dengan shalat jamaah wanita di rumahnya, sebagaimana terdapat dalam kisah Anas. Beliau (Anas) shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan di belakangnya terdapat wanita yang sudah tua. Juga telah tsabit (pasti) bahwa sebagian istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat berjama ah di rumah mereka. Jika tidak terdapat suatu keutamaan, maka hal ini tidak akan dilaksanakan oleh para wanita (shahabiyah) di jaman Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu harus kita katakan bahwa shalat wanita di rumahnya sendiri lebih utama dibandingkan dengan shalatnya di masjid secara berjamaah.

Hal ini karena masuk dalam keumuman hadits Rasulullah shoIlallahu alaihi wa sallam: Shalat wanita di rumahnya lebih balk (utama) daripada sbalatnya di masjid. Adapun jika dia (wanita) keluar dari rumabnya ke rumah wanita lain untuk shalat bersamanya, maka hal ini -wallahu alam- lebih berkurang pahalanya daripada sbalatnya di masjid. Karena keluamya wanita sudah terwujudkan, sehingga tinggal keutamaan masjid dan menyaksikan kebaikan bersama kaum muslimin itu lebih utama daripada (shalat)di rnmab wanita yang lain. wallahu alam. Demikianlah keterangan dari Syaikh Musthafa Al-Adawi. Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata: Jika para wanita shalat dengan berjamaah dan mengimami salah satunya, maka hal ini adalah hasan (baik) karena tidak ada nash yang melarang dari perbuatan yang demikian itu. Dan tidak pula sebagian mereka memutus shalat sebagian yang tainnya disebabkan sabda Rasulnllah shallallahu alaihi wa sallam: Sebaik-baik shaf bagi wanita adatah yang paling akhir. Beliau (Ibnu Hazm) berkata pula: Shalat wanita dengan wanita yang lain, bahkan masuk ke dalam perkataan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam:

Sesungguhnya shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat. Shalat mereka dengan berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian. Para ulama berselisih dalam masalah shalat seorang wanita bersama wanita-wanita lain secara berjamaah. Ada yang mengatakan mustahab (sunnah) berdasarkan riwayat Aisyah dan Ummu Salamah. Yang berpendapat seperti ini adalah Atha, Ats-Tsauri, Auza i, Syafii, Ishaq dan Abu Tsaur. Ada yang mengatakan bukan sunnah seperti Imam Ahmad. Ada pula yang mengatakan makruh seperti Ashabur Rayi. Sedangkan Asy-Syabi, An-Nakhai dan Qatadah menyatakan bahwa hal ini (shalat berjamaah bagi wanita) dilakukan pada shalat sunnah bukan shalat wajib. Sulaiman bin Yasar mengatakan bahwa wanita tidak boleh mengimami pada shalat wajib maupun sunnah. Imam Malik mengatakan bahwa tidak pantas bagi wanita untuk mengimami seorang pun. Yang demikian karena dimakruhkan adzan baginya yaitu panggilan untuk shalat berjamaah, maka dimakruhkan pula baginya sesuatu yang dimaksudkan oleh adzan.

(AI-Mughni, jilidt. ha1.17) Syaikh Al-Albani mengomentari hadits Aisyah dan Ummu Salamah yang mengimami para wanita dalam shalat (hadits tersebut menurut beliau sanadnya shahih) dengan perkataan beliau sebagai berikut: Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan, lebih-lebih jika dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah bahwa para wanita itu serupa lelaki . Namun penyamaan ini dalam hal berjamaah bukan dalam keutamaan yang dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat. Kemudian tentang pernyataan AI-Adawi: Jika lidak terdapat suatu keutamaan, maka hal ini tidak akan dijalankan oleh para shahabiyah dijaman Rasulullah, masih perlu dipertanyakan. Karena tidak setiap perbuatan yang dilaksanakan oleh shahabiyah adalah sesuatu yang afdlal, bahkan terkadang mereka pun meninggalkan perkara yang afdlal. Hal ini terbukti denganjelas ketika para shahabiyah pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah, padahal Rasulullah telah bersabda:

Sebaik-baik mesjid bagi wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka. Dari keterangan-keterangan di atas, maka keutamaan dua puluh lima dan dua puluh tujuh derajat itu khusus untuk shalat jamaah yang dilakukan di masjid ,sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: Bahkan yang paling jelas adalah bahwa derajat yang disebutkan itu khusus bagi jamaah di masjid (Fathul Bari, juz 2, hal. 159). Beliau juga menerangkan bahwa derajat itu diperoleh dengan dua puluh lima keunggulan yang telah disebutkan yang semua itu diambil dari hadits (artinya): DanAbuHuraairah radliyallahu anhu, ia berkata bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: Shalat seseorangdengan berjama ah dilipatgandakan atas shalatnva di rumahnya dan dipasar dengan dua puluh lima lipat. Hal ini dia peroleh apabila ia berwudlu. lalu menyempurnakan wudlunya kemudian keluar menuju masiid. Tidak mengeluarkannya kecuali untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkahkan satu langkah, kecuali diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan dan tatkala dia shalat para malaikat terus menerus mengucapkan shalawat atasnya selama dia di tempat shalatya dengan doa:

Ya Allah, berilah shalawat atasnya. rahmatilah dia. Terus-menerus salah seorang di antara kalian dalam keadaan shalat selama menunggu shalat. (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan keterangan-keterangan di atas, maka shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan itu (dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat), tetapi mereka mempunyai keutamaan tersendiri yaitu shalat seorang wanita di rumahnya dengan berjamaah atau tidak berjamaah lebih utama dari pada shalatnya di masjid. Wallahu a lam bishawab Diperbolehkaonya Wanita Shalat Berjamash di Masjid dan Laraogan Mencegahnya Keutamaan shalat wanita di dalam rumahnya sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak menafikan bolehnya para wanita shalat berjamaah di masjid. Bahkan mengharuskan bagi wali atau suami untuk tidak melarang mereka jika hendak shalat berjamaah di masjid, tentunya dengan syarat. Telah menjadi ijma (kesepakatan) para ulama bahwa Rasulullah shallallahu aiaihi wa sallam tidak mencegah sama sekali para wanita untuk shalat berjamaah di masjid bersama beliau sampai wafatnya. Demikian pula para khulafa Ar-Rasyidin sesudah beliau shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Apabila salah satu wanita di antara kalian meminta izin ke masiid, maka janganlah kalian cegah mereka. (HR Murlim, 442 dan Nasai. 2/42; Musthafa al-Adawi menshahihkannya) Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, RasuluIlah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalion melarang hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah· (HR. Bukhari, no. 900) Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mencegah wanita-wanitn kalian ke masiid. Sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik untuk mereka.(HR. Abu Dawud; dishahihRan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud: 576 dan dalam Misykatul Mashabih: 1062) Menyoroti hadits-hadits di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini dan yang semisalnya (menjelaskan) dengan jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang pergi ke masjid. Akan tetapi dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama yang diambil dari hadits-hadits yaitu: Tidak memakai wangi-wangian, Tidak tabarruj, Tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya, Tidak memakai baju yang mewah,

Tidak berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya dapat menimbulkan fitnah, Tidak terdapat sesuatu yang dapat menimbulkan kenrsakan di jalan yang akan dilewati. Adapun larangan tidak bolehnya wanita keluar ke masjid untuk shalat jamaah hukumnya makruh. Apabila dia sudah mempunyai suami atau tuan rumah dan terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan tadi, maka diperbolehkan. Namun jika dia belum/tidak mempunyai suami atau tuan, maka hal ini dilarang meskipun telah terpenuhi syarat-syarat di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Tidak halal bagi wali perempuan dan tidak pula bagi tuan budak untuk mencegah wanita hadir shalat berjamaah di masjid, apabila diketahui bahwa mereka ingin melakukannya. Tidak halal bagi mereka (para wanita) untuk keluar dalam keadaan berwangi-wangian, berpakaian mewah (yang merangsang). Jika mereka melakukan yang demikian, maka laranglah. Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 33: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.maksudnya adalah tetaplah kalian (wahai para wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah keluar,

kecuali jika ada hajat (keperluan). Di antara hajat-hajat yang syari adalah shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana sabda Rasulullah shallallnhu alaihi wa sallam: Janganlah kalian mencegah hamba-hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah dan hendaklah keluar dengan tanpa wangi-wangian. Dalam riwayat lain rumah mereka lebih baik bagi mereka. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin baaz berkata: Tidak diperbolehkan bagi sang suami untuk mencegah istrinya yang hendak ke masjid, namun shalatnya (istri) lebih utama di rumahmya. Wajib atasnya menjaga adab-adab Islam yaitu mengenakan pakaian yang menutupi auratya, menjauhi pakaian-pakaian yang mewah dan pakaian yang memperlihatkan auratnya karena sempit, tidak memakai wangi-wanglandan tidak ikhtilat dengan laki-laki lain pada shaf tapi di belakang shaf mereka. Sungguh telah ada wanita-wanita pada zaman RasuluIlah shallallahu alaihi wa sallam keluar ke masjid dengan mengenakan jilbab-jilbab dan shalat di belakang kaum laki-laki. Telah tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wn sallam bahwasanya beliau bersabda:Janganlah kalian mencegah hamba-hamba (para wanita) Allah ke Masjid Allah.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda pula: Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.(Fatawa, 7/236) Inilah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang disyariatkan kepada para wanita yang ingin ke baitullah laala. Syarat-syarat ini diambil dari hadits Rasulullah shnllallahu alaihi wa sallam, di antaranya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Wanita mana saja yang memakai wamgi-wangian, maka janganlah menghadiri shalat Isya yang akhir bersama kami (H.R Muslim: 4/162, Abu Dawud 4175, Nasai: 7/153 dan Miskatul Mashabih: 106; berkata Abu Maryam di dalam AI-Manhiyyat Al- Usyri li An-Nisa :hadits Shahih) Zainab Ats-Tsaqafiyah mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah satu di antara kalian menghadiri shalat Isya : makajanganlah berwangi-wangian pada malam itu.

(HR Muslim 3/163, Nasa i. 7/154 dan Baihaqi di dalam Sunannya AI-Kubra 3/133) Di dalam riwayat yang lain: Apabila salah satu di antara kalian, menghadiri masjid, maka janganlah mengenakan wangi-wangian.(HR Muslim: 4/163, Ibnu Khuzoimah 1680, dan Baihaqi 3/ 439) Dari Abu Hurairah radhivallnhu anhu, is berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Wanita mana saja yang berwangi-wangian, kemudian keluar ke masjid, maka tidak diterima shalatya sampai ia mandi: Dalam riwayat lain: Apabila seorang wanita keluar ke masjid, maka mandilah dari wangi-wangian sebagaimana mandinya dari junub. (HR. Abu Dawud: 4174, Ibnu Majah: 4002, Baihaqi: 3/133 dan di dalam Miskatul Mashabih: 1084; Berkata Abu Maryam Majdi: hadits hasan) Dari hadits-hadits di atas, para ulama menetapkan syarat-syarat bagi wanita yang ingin shalat di masjid. Abu Maryam Majdi berkata: Pada hadits-hadits tersebut terdapat pengharamam berwangi-wangian bagi wanita yang ingin keluar ke masjid karena terdapat unsur penggerak dan pengundang syahwat kaum lakilaki. Ibnu Daqig Al-Idd berkata:

Disamakan dengan wangi-wangian sesuatu yang semakna dengannya, karena sebab larangannya adalah terdapat sesuatu yang menggerakkan dan mengundang syahwat seperti: pakaian yang mewah, dandanan yang tampak bekasnya dan gerak-gerik dengan kebanggaan. Dari keterangan-keterangan di atas jelas dan terang bagi kita tentang bolehnya wanita pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat bejamaah tatkala sudah terpenuhi syarat-syaratriya, Terakhir kali, kita kutip perkataan Musthafa Al Adawi yang menyatakan: Apabila wanita meminta izin pada malam atau siang hari diizinkan baginya. Namun jika fitnahnya lebih sedikit, maka pemberian izin diperbolehkan. Wallahu a’lam Oleh sebab itu, sudah seharusnya para wanita muslimah memperhatikan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Wallahu,a lam bis shawab. Maraji’: Ahammiyatus Shalatil Jamaah. Ahkamun Nisa karya Musthafa Al-Adawi. AI-Manhiyyatu Li Isyrin-Nisa karya Abu Maryam Majdi. Aunul MabudSyarh Sunon Abv Dawud. Fatawa oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz. Jilbab A-Mar ah Al-Muslimah oleh Syaikh Nashiruddin AI-Albani. Majmu’atu Durusil Fatawa oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Nailul Author karya Imam Syaukani. Syarah Muslim oleh Imam Nawawi. Tafsir lbnu Katsir
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Menikah

Berikut adalah beberapa rahasia dan alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah. Berikut beberapa rahasia dan alasan mengapa harus menikah, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan nikah. 1. Melengkapi agamanya “Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim). 2. Menjaga kehormatan diri “Wahai para pemuda!

Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi). 3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245; Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 309). Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala 4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala.

Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “

Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”) (Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 125). 5. Adanya saling nasehat-menasehati 6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai 7. Pahala memberi contoh pelet ampuh yang baik “Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.) Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya?

Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya? 8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah. Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.”

(HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya. Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.” (Adab Az Zifaf Syaikh Albani hal 249). Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA.,

dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga) Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.” (Saba’: 39). Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.”

(HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga). 9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah. 1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nur: 32) 2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Silaturahmi

Silaturrahmi merupakan salah satu ajaran dalam Islam akan tetapi masih banyak yang belum memahami hakikat dan faidah-faidah silaturahmi. Artikel ini mengupas pengertian, faidah dan tips dalam mempererat silaturahmi Shilah artinya Hubungan atau menghubungkan sedangkan ar-Rahm berasal dari Rahima-Yarhamu-Rahmun/ Rahmatan yang berarti lembut dan kasih sayang. Taraahamal-Qaumu artinya kaum itu saling berkasih sayang. Taraahama 'Alayhi berarti mendo'akan seseorang agar mendapat rahmat. Sehingga dengan pengertian ini seseorang dikatakan telah menjalin silaturrahmi apabila ia telah menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan. Selain itu kata ar-Rahm atau ar-Rahim juga mempunyai arti peranakan (rahim) atau kekerabatan yang masih ada pertalian darah (persaudaraan). Inilah keunikan Bahasa Arab, Satu kata saja sudah dapat menjelaskan definisinya sendiri tanpa bantuan kata-kata lain. Dengan demikian Shilaturrahmi atau Shilaturrahim secara bahasa adalah menjalin hubungan kasih sayang dengan saudara dan kerabat yang masih ada hubungan darah (senasab).

Seseorang tidak dapat dikatakan menjalin hubungan silaturrahmi bila ia berkasih sayang dengan orang lain sementara saudara dan kerabatnya dia jadikan musuh. Islam dalam hal ini mengajarkan kepada kita tentang skala prioritas, yaitu dahulukanlah keluarga dan kaum kerabatmu baru kemudian orang lain. Hubungan baik dengan pelet tanpa puasa orang lain jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan. Hubungan kasih sayang dengan istri jangan sampai merusak hubungan kita dengan orang tua dan saudara. Peliharalah Tali Silaturrahmi, maksudnya peliharalah hubungan kekeluargaan kamu. Jangan sampai kamu lupa dengan nasab kamu, orang tua kamu, saudara-saudara kamu dan kerabat-kerabat kamu. Setelah itu baru peliharalah hubungan kasih sayang dengan orang-orang mu`min sebagaimana dengan saudara sendiri. Anjuran menjalin Silaturrahmi adalah anjuran untuk tidak melupakan nasab dan hubungan kekerabatan.

Satu-satunya bangsa yang paling hebat dalam menjalankan silaturrahmi adalah bangsa Arab. Mengapa? Karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau Ibnu yang artinya anak. Nabi kita Muhammad Saw mengetahui nasabnya sampai beberapa generasi sebelumnya. Nasab beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul- Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Bukan hanya Nabi yang seperti itu, hampir seluruh orang-orang Arab mengetahui nasabnya masing-masing sampai beberapa generasi sebelumnya. Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka sangat kuat. Allah menjadikan mereka sebagai contoh untuk diteladani.

Lalu bagaimana dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya sampai kakek dan buyut. Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat memprihatinkan. Diantaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan kecuali orang lain. Akhirnya ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, anak gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan disamping gubuknya adalah saudaranya dari buyut kakeknya. Inilah salah satu hikmah perintah bersilaturrahmi. Bersilaturrahmi atau menjalin hubungan kasih sayang yang kuat diantara saudara dan keluarga pihak kakek dan nenek ke atas. Kalau bisa kita menghafalnya sebagaimana bangsa Arab menghafal nasab-nasab mereka baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.

Allah dalam al-Qur`an secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menjalin silaturrahmi/ silaturrahim; يَاأيّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَ نِسَآءً وَاتَّقُوْا اللهَ الًّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَ الأرْحَامَ إنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْـبًا (النساء : 1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (an-Nisa`:1) Dari Miqdam ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأبآئِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأقْرَبِ Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwasiat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kamu agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu (Silsilah Hadits Shahih; al-Albani)

Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar. Dari Jubair bin Muth'im bahwa Nabi Saw bersabda: لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحْمٍ (متفق عليه) Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Muttafaq 'Alaih) Silaturrahmi tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain. Namun dalam hubungan silaturrahmi yang diutamakan adalah sanak famili yang masih ada hubungan darah (senasab) baru kemudian orang-orang beriman yang tidak ada hubungan darah dengan kita. Karena mereka-lah yang lebih dekat hubungannya dengan kita. Begitu juga apabila kita meminta bantuan maka yang lebih layak kita minta adalah sanak famili kita, baru kemudian orang lain. Karena mereka dan kita sama-sama punya hak dan kewajiban untuk saling tolong-menolong.

Di dalam Islam anjuran berinfak ditujukan kepada kaum kerabat kita yang miskin dulu baru kepada orang lain. Allah berfirman : ... وَ أُوْلُوْا الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُهَاجِرِيْنَ إلاَّ أنْ تَفْعَلُوْآ إلَى أوْلِيَآئِكُمْ مَّعْرُوْفًا ... (الأحزاب : 6) ... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) menurut Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin (lain) dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada mereka (saudaramu seiman)… (al-Ahzab: 6) Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli. Dan jangan sampai kita memutuskan tali silaturrahmi hanya karena gara-gara pekerjaan dan jabatan. Silaturrahmi lebih tinggi nilainya dari itu semua. Allah berfirman : فَهَلْ عَسَيْتُمْ إنْ تَوَلَّيْتُمْ أنْ تُفْسِدُوْا فِي الأرْضِ وَتُقَطَِعُوْآ أرْحَامَكُمْ (محمد: 22) 

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahim) ? (QS. Muhammad: 22) Kiat-Kiat Mempererat Hubungan Silaturrahmi 1. Mendahulukan Sanak-Famili yang terdekat dalam segala kebaikan, terutama orang tua. Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempunyai jasa tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sehingga seorang anak wajib mencintai, menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya musyrik. Kedua orangtuanya berhak mendapat perlakuan baik di dunia namun bukan mengikuti kesyirikannya. Apabila mereka faqir maka kewajiban kitalah yang membantunya pertama kali. Kemudian saudara-saudara kita seperti paman dan bibi baru setelah itu orang lain yang seiman. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi Saw : أَمَّا شَعُرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صَنُوْ أبِيْهِ Apakah kamu tidak sadar bahwa paman seseorang adalah saudara bapaknya. 2. Mengingat Kebaikan Sanak-Famili kita, tanpanya mungkin kita tidak akan berarti. 3. Menghafal Nasab dan seluruh nama-nama saudara kita,

dari mulai kakek dan nenek ke atas sampai kepada keturunan-keturunan mereka. Untuk hal ini sebaiknya kita membuat diagram silsilah keluarga agar dapat diingat oleh generasi berikutnya supaya mereka tetap melanjutkan tali silaturrahmi setelah kita tiada (meninggal). 4. Jangan menyakiti, menzhalimi dan berbuat buruk kepada sanak-famili kita. Sebaiknya kita-lah yang menjadi solusi untuk memecahkan segala permasalahan mereka. Sesungguhnya orang-orang yang selalu menjaga tali silaturrahmi akan diberkahi oleh Allah dalam usahanya, rizki dan umurnya. Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : مَنْ أحَبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَ يُنْسَأ لَهُ فِي أثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه (متفق عليه) Barangsiapa yang senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya (diberkahi), maka hendaklah ia bersilaturrahmi (Muttafaq 'Alaih)
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

Rahasia Shalat dan Kaifiyyahnya

Definisi Shalat Shalat menurut bahasa mempunyai arti: do’a/ rahmat. (al-Ahzab: 56 & al-Baqarah: 157). Menurut istilah, shalat ialah suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai dengan syarat-syarat tertentu. Lafadz shalat dibentuk dari kata الصِّلَةُ, karena ia yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya serta mendekatkan diri kepada-Nya. Hukum shalat terbagi kepada Fardhu dan Nafilah/sunnah. Demikianlah pendapat semua madzhab kecuali Madzhab Hanafi. Berikut pembagiannya : 1. Fardhu Shalat fardhu ialah shalat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Shalat Fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu : - Fardhu ‘Ain : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada mukallaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti shalat yang lima, dan shalat Jum’at. - Fardhu Kifayah : ialah kewajiban yang diwajibkan kepada Mukallaf tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan.

Seperti shalat jenazah. 2. Nafilah (shalat sunnat) Shalat nafilah adalah shalat-shalat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Shalat nafilah terbagi lagi menjadi dua, yaitu - Nafil Muakkad adalah shalat sunnat yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti shalat dua hari raya, shalat sunnat witr dan shalat sunnat thawaf. - Nafil Ghairu Muakkad adalah shalat sunnat yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti shalat sunnat Rawatib dan shalat sunnat yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan, seperti shalat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana). Hukum Shalat dan Ancaman bagi yang Meninggalkannya. Shalat hukumnya wajib. Artinya bila ia dilaksanakan berpahala, sedangkan bila ditinggalkan berdosa. Allah berfirman : (قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خِلَالٌ (إبراهيم :31) Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan (QS.Ibrahim :31) عَنْ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ (رواه مسلم (و أحمد وأبو داود والنسائ والترمذي وابن ماجه Dari Abu Sufyan ia berkata, Aku telah mendengar Jabir berkata, aku telah mendengar Nabi s.a.w bersabda: “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan Syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Muslim, Abu Daud, an-Nasaie, at-Turmudzie dan Ibnu Majah) Bagi mereka yang meninggalkan shalat maka halal darahnya sebagaimana Rasul bersabda dalam haditsnya, sbb : عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ , وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ , وَيُؤْتَوْا الزَّكَاةَ , فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi s.a.w bersabda: aku diperintah untuk memerangi orang sampai ia mengucapkan 2 kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka mengerjakan itu semua maka terlindunglah darahnya dan hartanya dari seranganku kecuali dengan hak. sedangkan perhitungan mereka ada di tangan Allah yang Maha Mulia. Manfa’at dan Hikmah Shalat - Dapat mencegah perbuatan yang keji dan mungkar إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (العنكبوت : 45) Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat lain) Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut : 45) - Mencegah pelakunya dari Aneka macam Kesesatan فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (مريم : 59)

 Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam: 59)  Shalat dapat menjauhkan diri dari sifat Mengeluh & Kikir إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا  إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا  وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا  إِلَّا الْمُصَلِّينَ  الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (المعارج: 19-23) Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (al-Ma’arij : 19-23)  Menghapus dosa-dosa kecil عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ (رواه مسلم و أحمد و الترمذي وابن ماجه) Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, Shalat lima kali sehari dan shalat jum’at ke jum’at merupakan pelebur dosa selama tidak melakukan dosa besar ( HR. Muslim, Ahmad, Turmudzie dan Ibnu Majah)  Selamat dari Siksa Hari Kiamat مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَنَتْ لَهُ نُوْرًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه أحمد وابن حبان والطبراني) Barang siapa yang menjaga shalatnya, niscaya ia akan menjadi cahaya, bukti dan penyelamat baginya pada hari kiamat (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan ath-Thabrani)  Menenangkan dan menentramkan hati قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : جُعِلَتْ قُرَّةَ عَيْنِيْ فِيْ الصَّلاَةِ (رواه أحمد و النسائ) Rasulullah bersabda: Penyejuk Hatiku ada di dalam shalat (HR. Ahmad dan an-Nasaie)  Hal-hal yang mesti dilakukan sebelum shalat  Suci dari Najis, baik Najis Ma’nawiyyah maupun Hissiyyah  Najis Ma’nawiyyah ialah najis yang menodai akidah dan tak dapat diindera ataupun dilihat oleh mata manusia, seperti Syirik dan Kufur. Orang musyrik tidak boleh masuk dan menetap di dalam masjid karena mereka najis kecuali bila telah masuk Islam.  Najis Hissiyyah ialah Najis yang dapat dilihat oleh mata manusia dan dapat diindera, seperti jilatan anjing, kotoran manusia ataupun hewan, kencing, darah haidh dan nifas, madzie dan wadi.  Suci dari Hadats Besar dan Hadats Kecil  Hadats besar adalah peristiwa/ keadaan yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabat, seperti keluar mani, bersenggama, haidh dan nifas. Adapun tata cara mandi janabat ialah : 1. Mencuci kedua tangan dengan air 2.

Mencuci qubul (kelamin) dan dubur. 3. Bewudhu’ sebagaimana wudhu’nya shalat, namun hanya sampai kepala. 4. Mengusap kepala dan menyela-nyela rambut hingga ke pangkalnya dengan air secara merata. 5. Menyiram kepala dan seluruh anggota tubuh dengan air sebanyak tiga kali kemudian yang terakhir mencuci kaki. Semua ini dilakukan bila terdapat air, namun bila tidak mendapatkan air maka tayammum adalah cara yang disyari’atkan sebagai penggantinya. Tayammum adalah suatu bentuk kewajiban bersuci dengan menggunakan debu sebagai pengganti air. Tata cara tayammum: 1. Membaca Bismillah 2. Menepukkan dua tangan ke tanah (debu) kemudian meniupnya 3. Mengusapkan ke muka dan kedua tangan hingga pergelangan dimulai dari tangan kanan lalu tangan kiri. Semuanya dilakukan hanya satu kali. Apa-apa yang membatalkan wudhu` juga membatalkan tayammum. Seseorang yang keluar mani ilmu pelet birahi (junub) dengan sengaja atau mimpi basah sebelum ia mandi janabat, maka diharamkan baginya; shalat, thawaf dan menetap dalam masjid kecuali hanya berlalu saja. Orang yang sedang haidh atau nifas sebelum suci dari haidh dan nifasnya itu, diharamkan baginya; shalat, puasa, thawaf, menetap dalam masjid dan bersenggama (bersetubuh). 

Hadats kecil adalah peristiwa atau keadaan yang menyebabkan seseorang harus berwudhu` ketika ia hendak mengerjakan shalat. Hadats kecil disebabkan oleh : 1. Keluar sesuatu dari Qubul ataupun Dubur 2. Tidur nyenyak 3. Menyentuh Persunatan bila tidak ada penghalang Cara bersuci dari hadats kecil ialah dengan berwudhu`. Tata cara Wudhu` : 1. Membaca Bismillah 2. Membasuh kedua tangan hingga ke pergelangan tangan sebanyak tiga kali. 3. Berkumur-kumur, istinsyaq dan istinsyar (menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya kembali) sebanyak 3 kali. 4. Membasuh muka tiga kali 5. Mencuci tangan kanan sampai siku sebanyak tiga kali kemudian mencuci tangan kiri sampai siku sebanyak tiga kali. 6. Mengusap kepala satu kali dengan air yakni dengan mengusapnya dari depan kepala hingga ke tengkuk lalu menjalankan tangan kembali ke depan sambil kedua telunjuk dimasukkan dalam lipatan daun telinga, diusap seluruh bagian-bagian telinga depan maupun belakangnya. 7. Kemudian membasuh kedua kaki dari jari-jari kaki hingga kedua mata kaki, dimulai dari kaki yang kanan baru kemudian kaki yang kiri. 8. Setelah wudhu`

berdo’a : أَشْهَدُ أَنْ لاََاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَ شْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ (رواه مسلم) (ASYHADU AL-LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU) Aku bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya (HR. Muslim) Hal-hal yang berkaitan dengan Wudhu` Jika seseorang terkena penyakit beser sehingga air kencingnya keluar terus-menerus, maka hendaknya ia berwudhu` untuk melakukan shalat fardhu ketika telah masuk waktu shalat (jarak antara wudhu` dan shalat dipercepat). Ia harus mencuci farjinya terlebih dahulu dan memercikkan/ membasahi celananya dengan air (istihlal). Setelah melakukan istihlal ia tidak mesti mengulang wudhu`nya jika kencingnya keluar lagi, kecuali bila banyak. Jikalau ia tidak sanggup menahan kencingnya itu maka ia harus membalutnya dengan sesuatu sehingga tidak mengenai pakaian dan badannya. Demikianlah yang harus ia lakukan pada setiap shalat fardhu. Bila seseorang merasa ragu-ragu apakah ia buang angin atau tidak dalam shalatnya itu, maka teruskanlah shalatnya, sampai ia merasa yakin bahwa ia telah buang angin.

Rasulullah bersabda : وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ j قَالَ يَاْتِيْ أَحَدُكُمُ الشَّيْطَانُ فِيْ صَلاَتِهِ فَيَنْفُخُ فِيْ مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ اِلَيْهِ أنَّهُ أَحْدَثَ وَلَمْ يُحْدِثْ فَإِذَا وَجَدَ ذَالِكَ فَلاَ يَنَْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدْ رِيْحًا (رواه البزار وأصله في صَحِيحَين) Dari Ibnu Abbas r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda: “Syaitan akan datang kepada salah seorang kamu waktu shalat lalu ia meniup-niup pada pantatnya, dan mengkhayalkan kepadanya bahwa ia telah berhadats, padahal ia tidak berhadats. Apabila yang terjadi demikian, janganlah ia keluar dari shalat, sehingga ia yakin mendengar suara atau mencium baunya (HR.Bazzar dan asalnya dari Bukharie-Muslim) Adapun bersentuhan dengan wanita maka ia tidak membatalkan wudhu`, yang membatalkan wudhu` ialah hadats besar dan hadats kecil. قَالَتْ عَائِشَةُ : كَانَ النَّبِيُّ j يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَلاَ يَتَوَضَّأْ ‘Aisyah berkata: “Nabi s.a.w pernah mencium salah seorang istrinya lalu ia shalat padahal ia tidak berwudhu` lagi (HR. an-Nasaie)  Menutup Aurat Aurat menurut bahasa ialah kekurangan.

Menurut Syar’I adalah segala sesuatu yang wajib ditutupi atau sesuatu yg diharamkan meman-dangnya. Sedangkan ma’na yang diambil dalam hubungannya dengan shalat adalah sesuatu yang wajib ditutupi. Aurat yang wajib ditutup oleh laki-laki ketika hendak melakukan shalat ialah seluruh badan sampai diatas mata kakinya, sedangkan bagi wanita aurat yang harus ditutupinya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Tidak boleh memakai pakaian yang sempit sehingga menampakkan lekukan-lekukan tubuh dan tidak boleh memakai pakaian yang transparan.  Memasang Sutrah (Pembatas) Sebelum melaksanakan shalat hendaklah kita membatasi diri kita dengan pembatas (sutrah) atau dengan kata lain supaya kita berdiri menghadap ke dinding atau tiang atau apa saja yang dapat menjadi pembatas, seperti tongkat, kayu, ataupun garis. Rasulullah s.a.w bersabda: إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ اِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا (رواه أبو داود وابن ماجه) Apabila salah seorang kamu hendak shalat, maka hendaklah ia bershalat menghadap sutrah (pembatas) dan hendaklah ia mendekat kepadanya.  Tata Cara Shalat 

Raka’at Pertama 1. Berdiri tegak menghadap kiblat (ka’bah), pandangan ke tempat sujud tanpa berpaling. Bila tak kuasa berdiri maka boleh dengan duduk. 2. Niat shalat dalam hati tidak dilafadzkan (diucapkan) 3. Takbiratul-Ihram, atau takbir permulaan yang mengharamkan pelakunya beramal selain amalan shalat. Takbiratul Ihram dilaksanakan dengan mengucapkan الله اكـبر sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak. 4. Bersedekap (meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri di atas dada). Membaca do’a Iftitah (pembuka) اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللّهُمَّ اَغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ باِلْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ (رواه البخاري ومسلم) ( ALLAAHUMMA BAA’ID BAYNIY WA BAYNA KHATHAAYAAYA KAMA BAA’ADTA BAYNAL-MASYRIQI WAL-MAGHRIB, ALLAAHUMMA NAQQINIY MIN KHATHAA-YAAYA KAMĀ YUNAQQATS-TSAUBUL-ABYADHU MINAD-DANAS, ALLAAHUMMA AGHSILNIY MIN KHATHAAYAAYA BIL-MAA`I WATS-TSALJI WAL-BARADI ) Artinya :

Ya Allah jauhkanlah antara diriku dan dosaku, sebagaimana engkau telah menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah diriku dari dosa-dosa sebagaimana dibersihkannya kain putih dari kotoran. Ya Allah sucikanlah diriku dari dosa dan kesalahan dengan air, salju dan embun (HR. Bukhari-Muslim) 5. Membaca ta’awwudz أعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ (A’UDZU BILLAAHI MINASY-SYAITHAANIR-RAJIIM) Aku berlindung kepada Allah dari Syaitan yang terkutuk 6. Membaca surat alfatihah بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيم ِ(3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم َ(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) (BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM. ALHAMDU LILLAAHI RABBIL- ‘ALAMIIN. ARRAHMAANIRRAHIIM. MAALIKI YAUMID-DIIN. IYYAAKA NA’BUDU WA IYAAKA NASTA’IIN. IHDINASH- SHIRAATHAL-MUSTAQIIM. SHIRATHAL-LADZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM GHAIRIL-MAGHDHUUBI ‘ALAIHIM WA LADZH-DZHAALLIIN.) Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta Alam  Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang  Yang menguasai Hari Pembalasan  Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan  Tunjukilah kami jalan yang lurus  Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat  7. Ucapkan amin أمِيْنsetelah Waladzdzhalliin. Amin artinya : “perkenankan-lah” 8. Membaca beberapa ayat atau surat dalam al-Qur`an yang telah dihafal. 9. Ruku’ yaitu mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu kemudian diturunkan sambil membungkukan tubuh dan meluruskan punggung sedangkan kedua tangan bertumpu di atas kedua lutut dengan jari-jari terbuka. Ketika ruku’ harus thuma’ninah (sempurna, tenang dan tidak terburu-buru).

Dalam ruku’ membaca do’a : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ (SUBHAANA RABBIYAL-‘AZHIIM) 3X Maha suci Rabbku yang Maha Agung Atau membaca; سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ (SUBHAANAKA ALLAHUMMA RABBANAA WA BI-HAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII) Maha suci Engkau Yaa Allah, yaa Rabb kami dan dengan memuji Engkau, Yaa Allah ampunilah dosaku 10. Bangkit dari ruku’ dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundak lalu menurunkannyanya lurus sebagaimana permulaan shalat dan membaca سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ )Allah mendengar bagi siapa saja yang memuji-Nya). Kemudian dilanjutkan dengan membaca : Atau membacaرَبَّنَا وَ لَكَ الْحَمْدُ (Rabbanaa wa Lakal-hamdu) رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ اْلأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ (RABBANAA LAKAL-HAMDU MIL`US-SAMAAWAATI WA MIL`UL-ARDHI WA MIL`U MAA SYI`TA MIN SYAI`IN BA’DU) Artinya: Ya Rabb kami, bagi-

Mu segala puji sepenuh langit dan Bumi serta sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki satelah itu. 11. Sujud dengan Thuma`ninah. Rasulullah apabila hendak sujud beliau mengucapkan takbir tanpa mengangkat kedua tangan lalu turun dan meletakkan kedua tangannya itu ke tanah sebelum meletakkan kedua lututnya. Anggota tubuh yang harus menempel di tempat sujud adalah dua telapak tangan, dua lutut, jari-jari dua kaki, dan wajah. Nabi s.a.w ketika sujud meletakkan dua telapak tangannya, merapatkan jari-jarinya, menegakkan lengannya dan menjauhkannya dari lambung serta menghadapkannya ke arah kiblat. إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ (رواه مسلم وابو عوانة) Apabila kamu sujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua siku lenganmu (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah) Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “janganlah seseorang diantara kamu membentangkan kedua lengannya seperti anjing membentangkan kedua kaki depannya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad) Do’a ketika sujud : سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى (SUBHAANA RABBIYAL-A’LAA) 3x Artinya : Maha suci Rabbku yang Maha Tinggi Atau membaca سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ

(SUBHAANAKA ALLAHUMMA RABBANAA WA BI-HAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII) Artinya : Maha suci Engkau Yaa Allah, yaa Rabb kami dan dengan memuji Engkau, Yaa Allah ampunilah dosaku. Dilarang membaca Qur`an ketika sujud dan dianjurkan untuk mengagungkan dan meminta ampunan kepada Allah s.w.t. 12. Bangkit dari sujud dengan bertakbir kemudian duduk di atas telapak kaki kiri dan menegakkan telapak kaki kanan, ujung-ujung jari kaki ditegakkan dan searah dengan kaki. Tangan diletakkan diatas paha dan ujung-ujung jari tangan sejajar dengan lutut. Dalam duduk diantara dua sujud itu baca do’a : اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَارْزُقْنِيْ (ALLAAHUMMAGHFIRLII WAR-HAMNII WAJ-BURNII WAR-FA’NII WAH-DINII WA ‘AAFINII WAR-ZUQNII) Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, tutuplah ke’aibanku, angkatlah derajatku, berikanlah aku petunjuk, sehatkanlah daku dan berilah aku rizki

(HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Hakim) 13. Setelah itu sujud lagi yang kedua sambil bertakbir. Caranya sama dengan sujud yang pertama baik dalam bacaan maupun dalam gerakan.  Raka’at Kedua 14. Bangkit dari sujud dengan bertakbir, namun kedua tangan tidak diangkat seperti halnya pada permulaan qiyam (berdiri). Pada raka’at kedua dan seterusnya iftitah ditiadakan, sedangkan gerakan dan bacaannya sama seperti raka’at yang pertama. 15. Baca ta’awwudz dan alfatihah kemudian baca surat atau ayat-ayat al-Qur`an yang mudah atau yang telah dihafal. 16. Ruku’ sambil bertakbir kemudian baca do’a ruku sebagaimana pada raka’at pertama (lihat no. 9) 17. Berdiri I’tidal membaca سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ kemudian membaca do’a I’tidal sebagaimana pada raka’at pertama (lihat no. 10) 18. Sujud sambil takbir dengan tanpa mengangkat kedua tangan, dalam sujud itu baca سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى sebanyak 3X atau membaca: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ

(SUBHAANAKA ALLAHUMMA RABBANAA WA BI-HAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII) Artinya : Maha suci Engkau Yaa Allah, yaa Rabb kami dan dengan memuji Engkau, Yaa Allah ampunilah dosaku. 19. Kemudian bangkit dari sujud dan bertakbir kemudian membaca do’a duduk diantara dua sujud sebagaimana pada raka’at pertama 20. Kemudian takbir lalu sujud lagi dan baca do’a sujud. 21. Bangkit dari sujud kedua sambil bertakbir dan duduk sebagaimana duduk diantara dua sujud (duduk iftirasy). Dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah s.a.w adalah apabila beliau duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri, dan menaruh tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, dan beliau menggenggamkan tangannya (yang kanan) dengan genggaman 53 (lima puluh tiga), seraya berisyarat dengan jari telunjuknya, dalam riwayat lain; “dan beliau juga menggenggamkan semua jari-jarinya dan berisyarat dengan jari yang ada disamping ibu jari (telunjuk).”

(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah) Kemudian membaca do’a tasyahhud dan shalawat : التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ (ATTAHIYYAATU LIL-LAAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAAT, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH-SHAALIHIIN, ASYHADU AL-LAA ILAAHA ILAALLAHU WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUHU, ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMADIW WA ‘ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA SHALLAYTA ‘ALAA IBRAAHIIMA WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIMA INNAKA HAMIIDUM-MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIW WA ‘ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALAA IBRAAHIIMA WA ‘ALAA AALI IBRAAHIIMA INNAKA HAMIIDUM-MAJIID.) Artinya : Segala penghormatan,

pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan atasmu wahai Nabi, juga anugerah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan atas kami dan atas segenap hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah Anugerahkanlah rahmat atas Muhammad s.a.w dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah menganugerahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha Mulia.  Raka’at yang ketiga Sama sebagaimana raka’at yang pertama dan kedua, hanya saja setelah bangkit dari duduk tasyahhud dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan sebatas pundak atau sejajar dengan bahu sambil bertakbir, kemudian melanjutkan raka’at shalat yang tersisa.

Ini bila shalat tersebut adalah shalat maghrib, Dzuhur ‘Ashar dan Isya namun shalat subuh selesai pada raka’at yang kedua. Pada raka’at ketiga setelah bangkit dari duduk tasyahhud lalu takbir, kemudian membaca alfatihah dan disunnahkan untuk membaca surat. Pada shalat maghrib raka’at ketiga adalah raka’at yang terakhir, kemudian mengucapkan salam bagi Shalat Maghrib.  Raka’at keempat Setelah bangkit dari sujud dari raka’at yang ketiga, maka pelaksanaannya sama sebagaimana pada raka’at yang kedua, namun setelah bangkit dari sujud yang terakhir, duduklah dengan duduk tawarruk, yakni dengan menegakkan telapak kaki kanan dan meletakkan telapak kaki kiri di bawah tulang kering kaki kanan, sedangkan kedua tangan diletakkan di atas paha dengan cara sebagaimana pada tasyahhud awal. Pada tasyahhud akhir ini, do’a yang dibaca sama dengan do’a pada tasyahhud awal. Setelah selesai membaca do’a tasyahhud lalu membaca do’a : اَللَّهُمَّ اِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

(ALLAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL-QABRI WA MIN FITNATIL-MAHYAA WAL-MAMAATI WA MIN SYARRI FITNATIL-MASIIHID-DAJJAAL.) Artinya : Ya Allah Aku berlindung kepada Engkau dari siksa Jahannam dan siksa kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian serta dari kejahatan fitnah Dajjal. kemudian diakhiri dengan mengucapkan salam السلام عليكم ورحمة الله dengan menengok kekanan lalu kekiri. Pada shalat Dzuhur ‘Ashar dan Isya, raka’at keempat adalah raka’at yang terakhir.  Hal-hal yang dilarang dalam shalat 1. Tergesa-gesa dalam shalat (tidak Thuma`ninah). Ketika ada salah seorang shalat dengan tergesa-gesa, Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, barangsiapa mati dalam keadaan seperti ini, dia mati bukan dalam millah Muhammad. Dia mematuk dalam shalat seperti burung gagak mematuk darah. (HR. Ibnu Khuzaimah) 2. Menoleh atau menengadahkan pandangannya ke langit. 3. Banyak Bergerak-gerak dalam shalat kecuali bila ada keperluan yang dibolehkan oleh syari’at, seperti : 

Membunuh ular, kalajengking dan hewan yang membahayakan diri kita.  Menolak orang atau sesuatu yang akan lewat dalam sutrah kita.  Menggendong anak kecil.  Menjawab salam dengan isyarat tangan.  Bertepuk tangan bagi wanita, apabila Imam salah.  Bergeser atau maju untuk mengisi kekosongan shaff.  Imam menarik ma`mum apabila posisi ma`mum salah dan ma`mumnya harus menurutinya.  Mundur untuk menemani seseorang yang menariknya untuk mendirikan shaff baru di belakang.  Apabila di mulutnya ada sesuatu yang mengganggu ia boleh meludah ke sebelah kiri atau ke sapu tangannya.  Maju untuk menggantikan Imam apabila Imam batal shalatnya. 4. Menguap (diusahakan untuk menahannya) 5. Membunyikan ruas tangan 6. Menahan buang air besar atau kecil dan kentut. 7. Bertolak pinggang. 8. Melihat atau menggunakan pakaian yang mengganggu karena corak dan gambarnya. 9. Isbal (memakai pakaian sampai menyentuh lantai) 10.

Shalat di depan makanan yang telah terhidang. 11. Shalat di sa’at sedang mengantuk. 12. Menetapkan tempat shalat yang khusus di masjid kecuali imam  Hal-hal yang membatalkan shalat 1. Tidak mengerjakan rukun-rukun dan syarat sahnya shalat. 2. Makan dan minum. 3. Berbicara dengan sengaja bukan untuk menegur imam yang salah. 4. Menoleh/ memalingkan badan dari arah kiblat. 5. Mengalami hadats kecil atau hadats besar. 6. Tertawa-tawa sedikit atau banyak. 7. Dilewati oleh perempuan baligh, keledai dan anjing hitam di dalam batas sutrahnya (HR. Ibnu Khuzaimah, Thabrani dan Hakim)  Perbuatan yang diperkenankan ketika shalat 1. Menangis, merintih, baik karena sangat takut kepada Allah atau karena sebab-sebab lain yang tak bisa ditahan, seperti karena sakit atau penderitaan yang tak terhingga. 2. Membunuh binatang yang membahayakan diri kita, seperti ular dll. 3. Berjalan sedikit karena ada keperluan, seperti memperbaiki shaff atau membukakan pintu dengan syarat tidak berpaling dari kiblat. 4.

Menggendong anak kecil di waktu shalat. 5. Menjawab salam dengan isyarat. 6. Bertasbih bagi laki-laki dan menepuk tangan bagi wanita untuk mengingatkan kesalahan imam. 7. Menahan menguap dengan menutup mulut. 8. Membaca surat dengan melihat al-Qur`an. 9. Berludah kekiri (ke bawah telapak kaki kiri) atau ke sapu tangan.  Hal-hal yang Diharuskan/dianjurkan dalam Shalat. 1. Mendekatkan diri kepada pembatas (sutrah) ketika ada yang memaksa lewat. (diharuskan) 2. Menolak atau mencegah agar orang tidak lewat di depan kita (di dalam sutrah). (diharuskan) 3. Merapatkan shaff dan meluruskannya.(diharuskan) 4. Berdo’a ketika membaca ayat-ayat adzab dan rahmat. (dianjurkan) 5. Membaca ta’awudz dan meludah kekiri ketika shalat untuk menghilangkan keraguan. (dianjurkan). Rasul bersabda : قالَ عُثْمَانُ ابْنُ عَاصٍ، يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ صَلاَتِيْ وَقِرَاءَتِيْ يُلَبِّسُهَا عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ ذِاكَ الشَّيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْـتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ، وِاتْفُلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا، قَالَ فَفَعَلْتُ ذَالِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّيْ (رواه مسلم و أحمد) Utsman bin ‘Ash berkata kepada Nabi s.a.w, “Wahai Rasulullah, setan telah menggangguku ketika aku membaca bacaan dalam shalat, sehingga bacaanku menjadi kacau”. Rasulullah s.a.w bersabda:

“itulah setan yang bernama Khinzib, jika kamu merasakan gangguannya, bacalah ta’awwudz dan meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali”. Ia berkata: “saya-pun melakukan hal itu, kemudian Allah menghilangkan keraguan dari diriku.” (HR. Muslim & Ahmad)  Kehabisan waktu Shalat Bagi orang yang lupa atau tertidur sehingga habis waktu shalat, maka shalatlah ketika ia teringat walaupun waktunya sudah lewat. Rasulullah menegaskan dalam haditsnya : عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي Dari Anas bin Malik r.a dari Nabi s.a.w ia bersabda: Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat maka shalatlah ketika teringat, tidak ada kafarat (tebusan) selain dengan melaksanakannya (dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku). (HR. Bukharie-Muslim)  Shalat Berjama’ah Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilaksanakan bersama-sama dan dipimpin oleh seorang imam dan dikuti oleh yang lainnya yang dinamakan ma’mum.

Sebelum melaksanakan shalat berjama’ah dianjurkan untuk adzan dan iqamat. Orang yang menyerukan adzan disebut muadzin. Adzan biasanya dilaksanakan di masjid untuk memanggil orang-orang agar melaksanakan shalat secara berjama’ah di masjid. Sedangkan iqamat adalah ajakan buat berdiri shalat. Yang melaksanakan adzan atau Qamat siapa saja boleh baik imam ataupun ma’mum, kecuali wanita. Lafadz adzan اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ 2× أَشْهَدُ أَنْ لاََّ إِلَهَ إِلاَّ الله 2× أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ 2× حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ 2× حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ 2× اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ لاَاِلَـهَ إِلاَّ اللهُ Adzan Subuh sama sebagaimana yang tersebut di atas. Adapun lafadz : الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّومِ 2× Shalat itu lebih baik daripada tidur 2X Adalah untuk adzan awal. Muhammad bin Ismail al-Kahlani dalam Kitabnya Subulussalam, menyebutkan bahwa tatswib diucapkan pada adzan awal, kira-kira 60 menit sebelum masuk waktu subuh, atau pada sa’at fajar kadzib. Adzan awal berfungsi untuk membangunkan orang agar shalat tahajjud ataupun sahur. Memang ada hadits yang menyebutkan bahwa tatswib itu pada waktu subuh secara umum, namun hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasaie mentaqyidnya (menjelaskan kekhususannya),

berikut bunyinya : الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّومِ 2× فِيْ اْلأَذَانِ الأَوَّلِ مِنَ الصُّـبْحِ (رواه ابن خزيمة) Ashshalatu Khairumminannaum 2X adalah di dalam adzan awal dari subuh. Lafadz Iqamat اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاََّ إِلَهَ إِلاَّ الله أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ 2× اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكبَرُ لاَاِلَـهَ إِلاَّ اللهُ Keterangan  Disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan untuk menjawabnya dengan lafadz yang sama seperti yang diucapkan oleh Muadzin, kecuali pada lafadz حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ dan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ maka ketika mendengar lafadz itu ucapkanlah : لاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan kehendak Allah  Disunnahkan sesudah adzan berdo’a : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدَنِ الْوَسِيْلَةَ وَ الْفَضِيْلَةَ وَابْعَـثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدَنِ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ (ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID-DA’WATIT-TAAMMAH WASH-SHALAATIL-QAA`IMAH, AATI MUHAMMADANIL-WASIILATA WAL-FADHIILATA WAB’ATSHU MAQAAMAM-MAHMUUDANIL-LADZI WA’ADTAH)

Artinya: Ya Allah, Rabb yang mempunyai panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan ini, berikanlah kepada Muhammad derajat yang tinggi dan pangkat yang mulia dan bangkitkanlah Muhammad di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya (HR. Bukharie dan Ashhabus- Sunan) Adab-Adab Shalat Berjama’ah  Ma’mum harus mengikuti Imam dalam segala halnya dan tidak boleh mendahuluinya.  Imam haruslah orang yang lebih pandai dari mereka tentang Islam dan lebih fasih dalam membaca ayat-ayat al-Qur`an.  Imam hendaklah merapikan shaff jama’ahnya. Apabila makmumnya seorang maka letaknya di sebelah kanan Imam dengan mundur sedikit ke belakang, namun bila ma’mumnya lebih dari seorang maka letaknya dibelakang imam. Hendaklah mereka merapatkan shaff di belakang Imam.  Dalam pengaturan shaff, orang-orang tua dan orang-orang yang faham Islam shaffnya di depan dan didahulukan dibanding anak-anak, kemudian baru wanita.  Pada shalat Maghrib, Subuh, Isya, Jum’at, Taraweh &
Dapatkan Sample GRATIS Produk sponsor di bawah ini, KLIK dan lihat caranya

DAFTAR KEILMUAN

ads

    Mahar: Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah)
    Keterangan: Paket 30 Ilmu Pelet Paling Ampuh berisi 30 jenis keilmuan pelet tingkat tinggi asli Nusantara yang sudah terbukti ampuh untuk berbagai persoalan cinta asmara dan keluarga, kami berikan lengkap 30 jenis keilmuan berbeda ini kepada anda disertai khodam keilmuan yang diambil dari ayat – ayat mahabah pilihan sehingga aman di gunakan oleh siapapun tanpa resiko sama sekali.

    Mahar: Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) + ongkos kirim sesuai alamat anda
    Keterangan: Paket Ilmu Sapu Angin Khizib Bayu adalah suatu keilmuan yang sangat luar biasa, hanya dengan satu keilmuan ini bisa mengeluarkan berbagai fungsi yang sangat menakjubkan, seperti memindahkan awan hujan, berkomunikasi dengan ruh seseorang yang sedang tertidur, pengasihan, melancarkan rizky, kekebalan dan kesaktian, pagar ghoib, berkomunikasi dengan khodam, melakukan pengisian azimat, menghilang dari pandangan musuh, menundukkan hewan buas dan masih banyak lagi fungsi menakjubkan lainnya. Tanpa ritual atau puasa. Menggunakan pengisian dari kami melalui garam rajah dan asmak yang akan kami kirimkan kealamat anda.

    Mahar: Rp. 101.000 (seratus seribu rupiah) + ongkos kirim sesuai alamat anda
    Keterangan: Paket Minyak Rajah Al Karomah 1001 Khasiat merupakan minyak pelet pengasihan yang kami isi menggunakan energi beberapa jenis keilmuan hikmah dan khizib serta ayat – ayat dan doa tertentu yang sangat mustajab. Fungsi dari satu jenis minyak rajah ini setara dengan belasan jenis minyak pelet ampuh yang biasa di jual di tempat para praktisi supranatural. Multi fungsi dan kami juga akan ajarkan anda untuk bisa melakukan isi ulang minyak tersebut. Mahar sangat terjangkau hanya sebagai pengganti biaya minyak dan mahar prosesi serta ongkos kirim saja.

    Mahar: Rp. 77.000 (tujuh puluh tujuh ribu rupiah)
    Keterangan: Paket 30 Jenis Ilmu Kesaktian & Kekebalan berisi 30 jenis ilmu kesaktian dan juga kekebalan tingkat tinggi dengan tuah ampuh luar biasa asli peninggalan nenek moyang Nusantara. Dari ilmu kebal terhadap benda tumpul, pukulan, dan senjata tajam serta peluru. Bisa membuat kaku seperti patung orang yang menyerang kita, halimunan, rawarontek dan masih banyak lagi keilmuan ampuh sakti dan terbukti luar biasa tuahnya ini. Kami buatkan khodam khusus untuk anda dan 30 jenis keilmuan tersebut akan menjadi milik anda semuanya.

    Mahar: Rp. 79.000 (tujuh puluh sembilan ribu rupiah)
    Berisi teknik dalam melakukan gurah hidung dan pernafasan lengkap dengan tata caranya step by step aman dan alami, diajarkan juga cara membuat ramuan gurah tradisional yang alami dan mujarab.

    Mahar: Rp. 977.000 (sembilan ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah)
    Berupa minyak bulu perindu yang sudah di berikan tambahan khusus berupa energi ilmu hikmah dan khizib serta doa doa mustajabah. Anda juga akan di berikan bonus spesial berupa seluruh paket keilmuan yang ada dalam situs ini secara Gratis.

    Mahar: Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah)
    Paket ini berupa garam rajah dan minyak untuk prosesi ruwatan anda dan keluarga maksimal 7 orang, bisa untuk tempat usaha rumah dan lainnya, sangat ampuh menghilangkan berbagai sengkolo dan kesialan dalam kehidupan.